Pages

Selasa, 30 Oktober 2012

Dad, did i grow up according to plan?



"Hey Dad, look at me. Think back and talk to me. Did i grow up according to plan?"

Lantunan lagu simple plan yang tidak sengaja aku dengar hari ini membuyarkan semua konsentrasiku. Sempurna, pikiranku kosong hari ini. Hubungan ku dengan bapak yang memang sedang tidak baik membuatku merasa lagu itu baru saja menyindirku.
aaah, tapi memang bukankah selama ini hubungan ku dengan bapak tidak pernah bisa dibilang baik?

Aku anak pertama dari tiga bersaudara dan satu-satunya anak yang selalu terang-terangan menentang beberapa sikap bapak yang menurutku tidak sesuai. Berbeda dengan sikap adikku yang lebih memilih untuk diam, aku lebih sering berdebat dengan bapak.

Bapak bukanlah orang tua yang selalu berusaha mengakrabkan diri dengan anaknya. Aku dan adik-adikku memang tidak begitu dekat dengan bapak, tapi hanya aku yang selalu terang-terangan menentang bapak. Bapak orang yang keras kepala, sering bersikap tak acuh bahkan terhadap anaknya sendiri, bapak bukan orang yang keras terhadap anaknya karena bapak seringnya tak peduli. Kadang aku merasa sikap bapak sering kekanak-kanakan, jalan pikirannya sulit untuk dimengerti. Bapak adalah orang yang menyimpan semua masalahnya sendiri, menyembunyikan kesulitannya sendiri, bahkan dari ibu. Bapak mempunyai harga diri yang terlalu tinggi.

Beberapa hari yang lalu aku dan bapak sempat bersitegang via sms. Iya, melalui media pesan singkat itu kami berdebat. Panjang sekali, mengenai suatu masalah yang tidak bisa aku sebutkan di sini. Hingga akhirnya bapak yang mengakhiri komunikasi itu, sms ku tidak lagi dibalasnya, sampai hari ini belum ada lagi komunikasi diantara kami. Sempat beberapa kali aku mengirimi bapak sms tapi tidak dibalas satupun. Oke, aku memang bodoh. Karena sms yang aku kirim masih membahas masalah yang sama, aku tau bapak pasti menghindar untuk berdebat lagi denganku. Harusnya aku mengirimkan ucapan maaf, iya aku tau itu, harusnya  aku mengirimkan ucapan maaf. Tapi entah kenapa aku tidak bisa, bukan karena aku tidak merasa bersalah, aku merasa bersalah, bahkan di setiap perdebatan kami aku selalu merasa bersalah walau pada akhirnya tetap bapak yang selalu mengalah.

Aku dan bapak memang tidak pernah terbuka satu sama lain. Aku tidak pernah bercerita tentang kehidupan pribadiku pada bapak dan bapak juga tidak pernah bertanya padaku. Seringnya kami hanya berdebat. Bahasa ku dengan bapak hanya perdebatan. Untuk hal-hal kecil sekalipun kami berdebat. Pernah suatu hari aku berdebat mengenai siapa yang harus memasak di dapur. Aku terang-terangan tidak mau jika bapak yang memasak di dapur, aku tidak suka masakannya, rasanya aneh. Bapak suka bereksperimen dengan masakan, bapak sering menambahkan bumbu-bumbu sesukanya yang seharusnya tidak digunakkan dalam resep masakan itu.  Tapi bapak tetap ingin  memasak di dapur. Kami beradu mulut. Hanya untuk masalah sesederhana itu, tapi aku tidak bisa menerimanya. Belum lagi dengan beberapa masalah yang lain, kami bisa berdebat lebih hebat lagi. 

Hubungan bapak yang tidak baik dengan keluarga besar ibu, juga sering menjadi bahan pertengkaranku dengan bapak. Keluarga besar ibu memang tidak menyukai bapak. Untuk beberapa sikap bapak aku bisa setuju dengan keluarga besar ibu kalau itu memang tidak baik. Tapi di luar itu semua, aku selalu merasa sedih setiap kali mendengar saudara ibu menjelek-jelekkan bapak. Aku tetap tidak terima, walau harus kuakui itu semua benar bahwa bapak memang begini bahwa bapak memang begitu. Semua yang mereka bilang itu benar. Tapi aku tidak terima. Aku ingin membela bapak, tapi aku tidak tahu harus bagaimana karena semua yang mereka bilang itu benar. Ujung-ujungnya rasa amarahku terhadap bapak justru semakin bertambah. Harusnya bapak tidak seperti itu, harusnya bapak bisa bersikap lebih baik, hingga jika ada yang menjelek-jelekkan bapak aku bisa membelanya.

Bapak memang jauh dari ayah yang sempurna baik. Bapak memang bukan kepala keluarga yang sempurna bijak. Bapak memang bukan orang yang sempurna sempurna.
Ayolah, emang tidak ada orang yang sempurna.
Tapi harusnya bapak bisa lebih baik dari itu, yang bisa membuatku beranggapan bahwa bapaklah bapak paling sempurna yang ada di dunia ini.

Hubungan kami yang tidak pernah akur dan sikapku yang sering menentang bapak selama ini membuatku berpikir apa bapak menyesal mempunyai anak seperti aku? Yang sering menuntut ini dan itu. Anak yang sering bersitegang dengannya.

Rasanya aku ingin menjumpainya. Duduk berdua, berhadapan. Berbicara dari hati yang tidak pernah bisa kami lakukan selama ini.
Aku ingin bertanya, apakah anak perempuannya ini tumbuh sesuai dengan keinginannya
Apakah selama ini aku sudah cukup baik
apakah aku sudah cukup membuatnya bangga
apakah aku sudah cukup dewasa dan mengerti segala hal untuk menentang setiap keputusannya
Aku tahu pasti jawabannya tidak.

aaah, iya
aku bahkan tidak cukup sempurna untuk menuntut mempunyai bapak yang sempurna bukan?

Kadang di beberapa sisi aku merasa sikapku ini mirip sekali dengan bapak. Sama keras kepala, sama keras hati, sama tak acuh, sama sulit dimengerti setiap perangainya. Mungkin itu yang membuat kami tidak pernah akur, dan itu juga yang kadang membuatku marah dengan bapak, kalau saja bapak memiliki sikap yang lebih baik aku juga akan mempunyai sikap yang sama baiknya.

Lihat kan, aku bahkan tidak cukup baik untuk menuntut memiliki bapak yang lebih baik.

Ada satu pesan bapak yang selalu aku ingat, aku simpan rapat-rapat dihatiku. Dulu bapak pernah berpesan "Nduk, bapak mungkin ga bisa menyekolahkan adik-adik kamu sampai setinggi kamu kelak, makanya bapak minta tolong adik-adik mu nanti adalah tanggung jawabmu".
Itu pesan yang bapak sampaikan dulu, saat aku masih duduk di bangku SMP. Pesan pertama bapak dari hatinya. Aku hanya mengangguk saat itu. Tapi di belakang bapak aku menangis. Dalam sekali. Entah kenapa rasanya hatiku sakit. Bukan, bukan karena ada tanggungjawab besar yang baru saja aku terima, sejak dulu sebelum bapak berpesan seperti itu pun di dalam hatiku sudah aku tetapkan adik-adikku adalah tanggung jawabku saat ini dan sampai kapanpun. Aku menangis karena aku tiba-tiba diselimuti rasa takut saat itu, aku takut kehilangan bapak.

Iya, bapakku memang bukan orang yang sempurna, masih jauh dari bapak yang sempurna baik. Tapi dia tetap bapakku. Tetap orang yang harus aku hormati, yang harus aku jaga kehormatanya.

Aku tau, walaupun dengan cara yang agak aneh, dengan cara yang tidak biasa, dengan cara yang sulit untuk dimengerti, bapak menyayangiku juga adik-adikku dan ibu tentunya

Lepas dari hubungan kami yang tidak pernah akur, ataupun sikap keluarga besar ibu yang tidak pernah menyukai bapak, bapak tetap bapakku. Darahnya mengalir dalam darahku.

Kembali aku ingin bertanya pak, apa aku tumbuh sesuai keinginanmu? Apakah anak perempuan yang keras kepala, sok tau, dan tak acuh seperti aku ini yang bapak inginkan? Yang setiap saat berdebat, sering menentang mu, haruskah aku bersikap seperti itu terus?

Harusnya aku mengucap maaf.
Mengatakan bahwa aku rindu bapak.
Harusnya. Iya memang seharusnya begitu.
Hanya saja aku tidak tahu bagaimana caranya, harusnya bapak mengajarkan ku. Harusnya bapak mengajariku mengucap maaf, mengungkap rindu. Harusnya.

Maaf pak. Aku tetap sayang bapak, dengan cara yang sama sulit dimengertinya seperti cara bapak menyayangi kami anak-anak bapak.

"Nothing gonna change the things that you said. Nothing gonna make this right again. Please dont turn your back. I cant believe it's hard, just to talk to you. But you dont understand"
"Dad, did i grow up according to plan?"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar