Pages

Senin, 26 Maret 2012

"Surat Untuk Ibu"

Iseng buka account kompasiana yang udah lama banget ga dibuka, dan menemukan satu fiksi "Surat Untuk Ibu" yang saya buat dulu. Hampir lupa malah pernah nulis ini.




"Surat Untuk Ibu"





Ibuuuuuuuuuuuuuuuu
Apa kabar di sana?
Ibu, dari dulu ingin sekali aku bertanya, surga itu seperti apa? Indah ya?
Pasti indah, buktinya ibu tak pernah kembali lagi sejak sampai di sana, aku iri.
Bagaimana kabar ayah? Salam cium ya bu untuk ayah.
Ibu sudah bertemu dengan kakak???
Bagaimana keadaanya di sana? Baikkan? Seceria dulu kan?
Aku khawatir sekali ibu.
Selama satu tahun terakhir ini kakak terlihat murung, sejak ia dipecat dari tempatnya bekerja.
Wajahnya selalu terlihat sedih, memang sih kalau di depanku dia tetap seceria biasanya tapi kalau malam aku sering melihat ia menangis ibu, sampai terisak-isak, ingin aku bertanya mengapa tapi aku tidak berani.
Ibu tau, aku malah ikut menangis di belakangnya, maaf ya ibu aku tidak bisa membantu kakak.
Sejak kakak tidak bekerja, kami jadi jarang makan, ibu. Biasanya setiap hari selalu ada nasi dan lauk, lengkap malah, aku bisa makan sampai 5 piring sehari, tapi semenjak kakak tidak bekerja nasi yang ada hanya sedikit bu, hanya untuk sekali makan.
Aku tidak berani makan banyak, aku kan harus membaginya dengan kakak.
Sungguh ibu, aku tidak tega melihat kakak begitu sedih, sepertinya banyak sekali beban yang ada di pikirannya.
Apalagi sore itu, ketika Mak Rohmah datang ke kontrakkan kami menagih uang kontrakan.
Dia berteriak-teriak di depan kakak, sungguh tidak sopan ibu, aku ingat sekali dulu ibu selalu bilang kalau berbicara di hadapan orang lain tidak boleh berteriak-teriak, tapi Mak Rohmah tak henti-hentinya berteriak marah-marah di hadapan kakak, aku lihat wajah kakak jadi pucat, berkali-kali ia mengucap maaf atas keterlambatan pembayaran kontrakkan.
Si Mak Rohmah malah terlihat tak perduli, tapi akhirnya dia pergi dengan satu ancaman, minggu depan kami harus sudah melunasi uang kontrakkan kalau tidak kami harus pindah dari kontrakkannya .
Aaahhh, jahat sekali Mak Rohmah itu ibu, ingin sekali aku menarik rambutnya karena sudah membuat kakak ku sedih, tapi aku urung melakukannya, kalau aku lakukan kakak pasti akan tambah sedih kan bu? Ibu juga pasti.
Tau tidak ibu, padahal hari itu aku juga mendapat surat peringatan dari sekolah, sudah 3 bulan uang sekolahku belum dibayar dan jika dalam minggu ini tidak juga dibayar maka aku tidak diperbolehkan mengikuti ujian kenaikan kelas.
Aku bingung sekali saat itu bu, aku tidak tega menyampaikannya kepada kakak, dia pasti akan bertambah sedih.
Ibu, andai ibu ada di sini, ayah juga, setidaknya kakak tidak sendirian. Ah tapi kan sekarang kakak sudah bersama ibu dan ayah di sana, pasti bahagia.
Ibuku sayang, aku rindu kakak, rindu sekali.
Dia yang dulu selalu melindungiku saat anak-anak nakal mengejekku, mereka bilang aku tidak punya ibu tidak punya ayah, aku bilang saja pada mereka bahwa aku tentu punya ibu juga ayah tapi di surga.
Tapi mereka terus saja mengejekku, menertawakanku, dalam hati aku bertanya memangnya apa yang lucu dengan seorang anak yang ibu dan ayahnya di surga?
Untung aku punya kakak yang hebat, dengan sekali gertakan mereka langsung lari, cepat sekali ibu, ada yang hampir terjatuh malah, aku dan kakak hanya tertawa melihatnya. Padahal kan aku laki-laki dan dia perempuan, harusnya aku yang melindungi kakak ya bu? Maaf bu, aku kan masih kecil.
Oiya, ceritaku masih belum selesai bu.
Keesokan harinya, aku lihat wajah kakak sudah kembali ceria seperti dulu, bahagia sekali sepertinya.
Kakak bilang, ia sudah mendapat pekerjaan baru, kakak tidak menyebutkan apa tapi ia bilang bosnya baik sekali.
Kata kakak, bosnya itu mengijinkan ia untuk mengambil gaji terlebih dahulu, jadi kami bisa membayar uang kontrakkan ke Mak Rohmah, kakak juga membelikan aku buku baru bu, melunasi uang sekolahku juga. Aku senang sekali.
Tapi, pekerjaan baru kakak membuat aku kesepian bu. Jika dulu kakak berangkat kerja bersamaan dengan aku berangkat sekolah dan sudah pulang saat sore, tapi sekarang kakak justru baru berangkat kerja sore hari dan pulang malam sekali, seringnya aku sudah tidur jika kakak pulang.
Sebenarnya aku takut sekali ibu, malam-malam tidur sendirian di rumah, tapi aku mencoba memberanikan diri. Di luar sana kakak berjuang untuk aku, maka aku juga harus berjuang melawan rasa takut ini.
Lama kelamaan aku mulai terbiasa ibu. Bahkan ibu bisa liat sekarang, aku sendirian malam ini, di depan bangunan yang aku tidak tahu apa, berlindung dari hujan.
Aku tidak menangis, bu.
Hingga beberapa hari kemudian, entah kenapa sampai pagi, ketika jam menunjukan pukul 6 pagi, kakak belum juga pulang.
Aku khawatir sekali ibu. Aku tidak tahu harus mencari kakak kemana, jadi aku memutuskan untuk tidak masuk sekolah, menunggu kakak di rumah. Maaf ya ibu, aku membolos.
Anehnya, sampai hari menjelang sore kakak belum juga sampai rumah. Aku takut sekali saat itu ibu, ingin menangis tapi aku tahan. Kalau kakak pulang dan melihat aku menangis pasti dia jadi khawatir.
Mungkin, memang kakak sedang sibuk hingga tidak sempat pulang.
Malamnya, ada seorang polisi datang ke rumah. Seragam yang dikenakkannya sama persis dengan yang dulu dipakai ayah jika bekerja bu, makanya aku tahu dia polisi.
Dia datang menanyakan apakah benar ini rumah kakak, aku jawab iya. Kemudian dia bertanya mana ayah dan ibu, aku jawab di surga. Dia juga bertanya berapa umurku, aku jawab dengan lantang ”8 tahun pak!”
Setelah itu, ia tidak melanjtukan bertanya dengan ku ibu. Ia kemudian bertanya kepada Mbak Riri, tetangga sebelah. Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tapi raut wajah Mbak Riri berubah jadi sedih saat mendengar ucapan polisi itu. Beberapa kali di sela-sela percakapannya dengan polisi itu ia melirikku. Aku hanya diam, tak mengerti ibu.
Kemudian Mbak Riri mengajakku ke rumah sakit. Berkali-kali aku bertanya ada apa, mengapa kita ke rumah sakit, tapi jawabannya hanya singkat, ”kita mau jemput kakak mu”
Ibuuuuuu, aku benar-benar tidak mengerti. Memangnya ada apa dengan kakak saat itu, kenapa ia di rumah sakit, bukankah seharusnya dia sedang bekerja?
Sesampainya di rumah sakit, aku lihat tubuh kakak ditutupi kain putih, dari ujung kaki hingga kepala. Aku marah saat itu ibu. Aku meminta suster untuk melepas kain putih itu, kasian kakak, tidak bisa bergerak. Tapi suster itu hanya diam ibu, Mbak Riri malah nangis terus. Saat itu aku baru sadar, ini sama ya seperti dulu saat aku dan kakak menjemput ibu dan ayah di rumah sakit???
Ibu menjemput kakak ke surga? Ibu dan ayah membawa kakak ke surga juga?
Tapi kenapa hanya kakak, bu? Kenapa aku tidak?
Ibu lihatkan, saat itu sampai sekarang aku tidak pernah menangis, sedikitpun tidak. Aku ingat dulu ibu pernah bilang, kalau anak laki-laki cengeng tidak bisa masuk surga. Apa karena dulu aku sering menangis makanya ibu tidak mau mengajakku bersama kakak? Tapi sekarang aku tidak menangis ibu, sudah tidak, sama sekali tidak.
Keesokan harinya aku diusir Mak Rohmah ibu, dia bilang aku tidak mungkin bisa membayar uang kontrakkan dan dia juga bilang kalau dia tidak mungkin membiarkan adik seorang pelacur tinggal di rumah kontrakannya. Pelacur itu apa ibu? dia bilang aku adik seorang pelacur berarti kakakku pelacur? Pelacur itu apa bu?
Aku ingin bertanya padanya apa itu pelacur. Tapi aku tidak berani ibu. wajah Mak Rohmah seram sekali.
Saat itu aku tidak menangis ibu.
Ibu, bagaimana kabar kakak di sana?
Dia baik-baik saja kan?
Aku rindu ibu.
Sampaikan padanya aku baik-baik saja, ia tak perlu khawatir, ibu dan ayah juga tak perlu khawatir, aku baik-baik saja.
Ibu tau tidak, sejak kakak ikut ke surga, setiap hari aku bernyanyi di jalanan, dari satu mobil ke mobil yang lain. Pemilik mobil itu baik sekali ibu, setiap aku bernyanyi walau laguku belum selesai mereka memberikanku uang, baik ya? Uangnya aku pakai untuk membeli makan bu.
Tapi, ada juga orang-orang yang jahat bu. Suatu hari pernah ada segerombolan orang berseragam yang turun dari mobil besar. Mereka mengejar kami para penyanyi di jalanan. Tentu saja kami memberontak . Aku lari, secepat yang aku bisa. Tapi langkah orang itu lebih cepat dan lebar dari langkahku. Akhirnya aku tertangkap bu. Orang itu mencengkeram tangaku, sakit sekali. Saat aku berusaha untuk lari lagi, ia langsung memukul kepalaku dengan tongkat yang dibawanya. Lebih sakit lagi rasanya bu. Kepalaku pusing, mual.
Tapi aku tidak menangis bu, sedikitpun tidak. Saat itu aku berharap ibu datang menjemputku, agar rasa sakitku hilang.
Ibu, suratku ini adalah ceritaku untukmu. Sudah lama aku ingin bercerita denganmu ibu, tapi aku tidak tahu bagaimana.
Ibu, sekarang sudah jam berapa di surga?
Di sini sudah jam 11 malam, ibu.
Dingin sekali.
Padahal biasannya aku paling tahan dingin, tapi akhir-akhir ini tidak bu.
Dinginnya menusuk tulang. Ngilu.
Tulan-tulangku seperti mau hancur. Sakit.
Sudah 3 hari ini aku tidak makan, ibu. tubuhku lemah sekali. Aku tidak sanggup berdiri lama, berjalan, bernyanyi dari mobil ke mobil. Tidak sanggup, bu.
Dingin, ibu.
Tapi aku tidak menangis, lihat kan bu? Aku sama sekali tidak menangis. Ibu harus percaya, aku tidak menangis bu. Aku mohon jemput aku.
Ibu, sudah beberapa hari ini aku batuk-batuk. Tidak mau berhenti. Terus batuk sampai dadaku sakit.
Sesak, bu.
Kadang saat aku batuk ada darah yang keluar. Dadaku sakit, bu. Tenggorokanku panas.
Sakit, bu.
Tapi lihat, aku tidak menangis kan? Ibu percaya kan? Aku tidak menangis bu. Aku mohon jemput aku.
Sebenarnya aku tidak yakin surat ini akan sampai padamu ibu. Semoga malaikat penjaga surga berbaik hati dan menyampaikan surat ini kepadamu.
Ibu, jika ibu sudah membaca surat ini, aku mohon ibu menungguku di depan pintu surga. Kalau ibu tidak bisa menjemputku tak apa, tapi tunggu aku di depan pintu surga bu. Aku mohon.
Sampaikan salam sayangku pada ayah dan kakak ya bu.
Ajak juga mereka menungguku di depan pintu surga.
Sayang ibu.
Anakmu

Kelak, dia adalah "sepatu" ku yang nyaman


Kelak, dia adalah "sepatu"ku yang nyaman :). Walau aku belum tau siapa dia, tapi dia haruslah "sepatu"ku yang nyaman.
Terinspirasi dari sepatu cantik yang membuat jatuh cinta seminggu terakhir ini.
Pernah jalan-jalan ke toko atau pasar atau tempat apapun yang menjual sepatu, kemudian mendapatkan satu sepatu yang menarik perhatianmu? Sepatu yang terlihat cantik di matamu? Sederhana, tapi cocok dengan warna kulit kakimu. Namun ternyata ukurannya ga pas, mungkin kebesaran atau kekecilan? Pernah?
Yap, aku baru saja menemukannya hmm seminggu yang lalu. Menemani teman berbelanja di salah satu pusat perbelanjaan dan mendapatkan satu sepatu, cantik, sederhana. Sepatu berwarna pink, tapi tidak mencolok. Cantik, sungguh. Tapi saat itu aku tidak berniat untuk membelinya. Dan hari ini, aku kembali ke toko itu, iseng sih tadinya ga berharap juga sepatu itu masih ada. Eh ternyata sepatu cantik itu masih ada, dipajang di tempat yang sama. Setelah mendapat kesepakatan harga, tinggal mencocokan ukuran. Namun sayang, memang bukan jodohnya, tidak ada ukuran yang pas dengan kakiku. Sebenarnya bisa memaksa membelinya, memaksa memakainya, karena memang cantik, tapi tidak pas ukurannya.
Patah hati. Sudah terlanjur jatuh cinta, tapi ternyata tidak pas.
Kalau ukurannya kekecilan akan membuat kaki jadi mudah lecet. Luka. Iritasi. Sakit.
Kalau ukurannya kebesaran akan mudah lepas dari kaki. Ga pantas juga jadinya.
Intinya kalau ukurannya ga pas jadinya ga nyaman.
Memikirkannya lagi membuat aku teringat pada sosok "dia" kelak. Dia yang aku belum tau siapa. Dia yang belum bisa aku bayangkan seperti apa.
Yang jelas, dia kelak adalah "sepatu"ku yang nyaman. Bukan, bukan dia yang bisa aku injak-injak. Aku tidak sedang memandang sepatu dari sisi itu sekarang.
Tapi dia yang tidak akan membuat luka, bukan juga yang mudah lepas, tapi dia yang pas. Dia yang mau menemani di setiap langkah yang aku ambil, melindungi ku, dan membuatku nyaman. Dia yang bisa menyesuaikan dengan situasi apapun bersamaku.
Oke, satu hal yang harus aku akui, memilihnya kelak tidak akan sesederhana memilih sepatu. Banyak hal yang harus aku pertimbangkan. Bukan hanya mengenai kenyamanan yang ia berikan. Bukan hanya dilihat dari penampilan luarnya, bukan juga dari warna kulitnya. Memilihnya kelak akan jadi keputusan penuh pertimbangan yang pernah aku ambil.
Dia kelak bukan hanya yang membuatku nyaman. Dia kelak adalah dia yang mempunyai akhlak yang baik. Dia kelak adalah dia yang mampu menjadi imam yang baik, memimpin keluarganya sesuai ajaran agama, bukan hanya aku tapi juga anak-anak. Dia kelak bukan hanya seorang pencari nafkah tapi juga seseorang yang mempunyai waktu untuk mengajari mengaji dan  mendongeng mengenai kisah para nabi untuk anak-anak. Dia kelak bukan hanya seorang ayah dengan peraturan dan egonya tapi juga ayah yang selalu mempertimbangkan pendapat anak-anak.
Dia kelak adalah "sepatu" ku yang nyaman :)

Untukmu yang aku belum tau siapa

Aku memang belum tau kamu siapa
Aku tidak tau sekarang kamu di mana dan sedang apa
Tapi aku yakin,
kamu kelak adalah "sepatu" ku yang nyaman
Bukan yang akan membuat luka
bukan juga yang mudah lepas
tapi kamu yang pas dan membuat nyaman
kamu yang akan melindungi, menemani, dan membimbing
kamu yang bisa menyesuaikan dengan situasi apapun bersamaku
kamu yang berakhlak baik
kamu yang akan menjadi pemimpin yang baik bagi keluarga
kamu yang tidak hanya menghabiskan waktu untuk bekerja
tapi juga kamu yang punya waktu untuk mengajari anak-anak mengaji
dan meluangkan waktu untuk mendongeng mengenai kisah para nabi
kamu yang mengesampingkan ego
dan mempertimbangkan pendapat aku maupun anak-anak
kamu kelak adalah "sepatu" yang nyaman bagi keluarga kita
:)